Rabu, 07 Desember 2011

RIDING THE KOREAN WAVE




“Annyeonghaseyo!” Sapaan dalam bahasa Korea itu meluncur fasih dari mulut Nurrani Yunita. Tak hanya sampai di situ, mahasiswi IAIN Imam Bonjol ini pun menyambungnya dengan “Jae ireumeun  yunita imnida. Na neun Indonesia saramiyeyo, Bangapseumida!” kalimat itu maksudnya inti dari buku dari novel bersetting Korea yang akan ditulisnya. “Ini kisah anak Indonesia yang merantau ke Korea dan jatuh cinta dengan pemuda Korea,” demikian tutur Rani.

Rani, demikian nama panggilannya berbicara bahasa Korea layaknya bahasa sehari-hari. Padahal dia itu asal Banten dan tak pernah kursus bahasa Korea secara khusus. Dia cuma belajar lewat buku dan mempelajari deialeknya lewat film Korea yang dia tonton. Sebagai cewek yang tergila-gila pada segala sesuatu berbau Korea, Rani memiliki koleksi  yang sangat beragam. Mulai dari kaset sampai majalah bulanan Korea.

“Aku punya serial Winter Sonata keluaran tahun 2002 sampai Protect the Boos keluaran 2011 yang jumlah filmnya  nggak kehitung lagi. Juga punya buku pembelajaran bahasa Korea, buku filsafat tentang Korea, bahkan majalah bulanan tentang Korea pun punya,” tutur cewek penyuka warna merah ini seperti dikutip Harian Waspada (9/10/11).

Rani hanya salah satu penggila apa saja yang berbau Korea. Di Padang, keeping DVD film=film Korea diburu banyak remaja sepantaran Rani. “Ya, paling tidak dalam sehari saya dapat menjual lebih kurang 20 hingga 30 keping kaset drama Korea. Padahal sebelumnya jangankan segitu, ada yang laku aja udah syukur,” ujar salah seorang pedagang keeping DVD di  Jl Gedung Arca, Padang.

Di Makassar, banyak remaja yang  meminati baju, kaos tangan, kaos kaki, syal, dan aksesori lainnya yang bergaya Korea. Kaos kaki musim dingin contohnya. Kaos kaki musim dingin kini banyak dijual meski Indonesia sebagai negara tropis tidak memiliki musim dingin sebagaimana korea, jepang dan lainya. Mereka membeli barang bukan karena fungsinya melainkan agar bisa tampil seperti idola mereka. "Sekarang memang lagi tren hal-hal yang berbau Korea, makanya mayoritas pernak-pernik kami impor dari korea,"  kata Raya, supervisor Pink di Mal Panakkukang Makassar.

"Kaos kaki berbahan dasar woll ini sejak sebulan lalu laris terjual. Karena disini tidak ada musim penghujan, pembeli yang mayoritas ABG menggunakan kaos kaki ini pada musim penghujan seperti sekarang,"  kata Raya lagi seperti dikutip Harian Fajar (14/3/11). Sepasang kaos kaki musim dingin dibanderol Rp. 20.000,. Sedikit lebih mahal dari kaos kaki biasa yang dijual seharga Rp.7500,-hingga Rp.10.000. Meski demikian, toh kaos kaki musim dingin tetap laris di pasaran.

Cara berpakaian orang Korea pada dasarnya sama seperti orang-orang di Asia seperti Thailand, Hongkong, Singapura dan Indonesia. Namun, mereka lebih berani bereksplorasi, mirip gaya harajuku di Jepang. Salah satu contoh, perempuan di Indonesia belum banyak yang menggunakan stocking setinggi paha, di Korea justru sebaliknya. Bagi mereka stocking tipis, setinggi paha, atau bahkan kaos kaki lucu merupakan item wajib dalam berpakaian.

Untuk acara resmi, mereka juga memiliki gaya tersendiri. Anak muda Korea selalu menggabungkan jas dengan kaus oblong atau dalaman yang sekiranya terlihat serasi dengan jas yang digunakan. Untuk keseharian, mereka biasanya mengenakan pakaian sesuai dengan musim. Uniknya, meskipun menggunakan bawahan yang agak terbuka tapi hampir semua cewek Korea memakai atasan yang tertutup dengan cardigan atau mini blazer.

Makin hari semakin banyak orang yang akrab dengan ingar-bingar yang terjadi seputar drama Korea dan K-Pop. Sosok seperti Kim Hyun Joong, Lee Min Ho, SNSD, Super Junior, Rain, dan lain-lain juga makin mudah dikenali remaja. Apalagi Hyun Bin, yang pada Oktober berkunjung ke Indonesia dalam kapasitasnya sebagai anggota militer Korea (dia tengah menjalani wajib militer). 

Keakraban ini dimanfaatkan baik oleh para promotor konser. Terhitung ada 3-4 kali konser berbau Korea yang digelar di Indonesia, dan mendapat sambutan menarik. Produser musik juga tak mau ketinggalan. Memanfaatkan demam yang melanda, mereka membentuk grup musik yang sepintas meniru grup Korea. Baik lagu maupun dandanannya.

Indonesia dan juga negara-negara lain, termasuk Amerika Serikat dan Eropa terjangkit demam Korea. Di Inggris misalnya, Rhiannon Brooksbank-Jones, seorang pelajar, nekat mengoperasi lidahnya demi bisa melafalkan bahasa Korea dengan sempurna. Pada tahun 2003, Winter Sonata, serial TV Korea yang diperani oleh Bae Yong Joon sebagai aktor utama, disiarkan pertama kali disiarkan di Jepang.  

Serial drama ini menjadi hit dengan mendapatkan setidaknya 20% dari pemirsa prime time di Jepang dan ditayangkan lagi di tahun 2004 dengan TVR 24%. Keping DVD serial ini – saat diluncurkan --terjual habis dalam waktu empat jam (Yasumoto, 2006).

Demam panas Korea juga sangat berdampak pada remaja China. Mereka berusaha untuk meniru gaya rambut dan gaya hidup Korea. Selain itu, jumlah wisatawan China yang berkunjung ke Korea Selatan meningkat setelah drama TV Korea ditayangkan di China. (Dae Jang Geum, 2005) 

Serial drama TV Korea populer di Vietnam, terutama di kalangan remaja. Tayangan itu sangat mempengaruhi cara hidup mereka. Mereka mencoba meniru gaya Korea seperi yang dipertontonkan di serial TV tersebut dengan membeli sepatu, topi, pakaian, gaya rambut dan kosmetik agar terlihat seperti bintang favorit mereka. 

Meningkatnya demam Korea membuat banyak gadis bercita-cita menikah lelaki Korea. “Mereka juga banyak yang melakukan operasi plastik agar memiliki kecantikan atau ketampanan artis Korea,” kata Direktur sebuah klinik bedah estetika di Ho Chi Minh.

Banyak perusahaan kosmetik asing yang membangun pabrik mereka di Vietnam untuk mendapatkan  keuntungan dari gelombang Korea ini. Bahkan layanan foto-foto dan stiker gaya Korea juga diburu remaja  Vietnam. Beberapa bintang Korea yang menjadi presenter merek Korea untuk mempromosikan produk mereka ke pelanggannya di Vietnam (Nguyen, 2005). 

Yang menarik, Korean Wave juga meluas ke Brunei. Dampak drama TV, musik dan gaya pakaian berdampak signifikan pada remaja Brunei. Bahkan Universitas Brunei Darussalam sempat menjadi tuan rumah Forum Korea untuk mempelajari tentang dampak budaya Korea. (Noor, 2010)

Sejatinya, serbuan budaya Korea tersebut dimulai sejak 1996. Pada tahun itu, untuk pertama kalinya operas sabun Korea diputar di Taiwan. Namun, Korean Wave atau dalam bahasa Koreanya, Hallyu, menemukan jati diriya  setelah ekonomi dunia – dimana Korea Selatan menjadi pemicunya – runtuh 1998. 

Agar bisa bangkit dari keterpurukan ekonominya, pemerintah Korea Selatan memutuskan merekoveri ekonomi dengan meingkatkan ekspor budanyanya. Sejak itu dicanangkan program "Korean Wave" atau "Hallyu" sebagai taktik memperluas budaya melalui industri hiburan termasuk sinetron, film dan musik serta menghilangkan image negatif akibat kamapnye yang dilancarkan Korea Utara. (The Economist, 2010).

Pada 2011, ‘Gelombang panas’ Korea mulai terasa setelah sebuah film komedi romantis berjudul My Sassy Girl beredar di pasar internasional. Film ini yang diadaptasi dari novel karya Kim Ho-Sik ini  menjadi film komedi romantis Korea terlaris sepanjang masa. Di Korea sendiri film ini mengalahkan popularitas Lord of the Ring dan Harry Potter yang diputar bersamaan. Hampir 5 juta tiket terjual di Korea, dan film ini diputar selama10 minggu.

Tak hanya Korea, My Sassy Girl juga menjadi hit di Asia, seperti Jepang, Cina, Taiwan, Hong Kong, dan Singapura. Film ini juga dibeli hak ciptanya oleh sineas dari beberapa negara. Pada 2008 misalnya, Hollywood membuat film tersebut dengan  dibintangi oleh Jesse Bradford dan Elisha Cuthbert. 

India juga tak ketinggalan membuat film ini berjudul Ugly Aur Pagli, disusul China yang membuat sekuel My Sassy Girl 2, juga Jepang yang membuat serial dramanya, Ryokiteki na Kanojo. Sejak saat itu, dunia mulai tak memandang sebelah mata kreativitas insan perfilman Korea.

Fenomena budaya ini mengingatkan kembali kondisi saat Indonesia dilanda demam film drama  Amerika Latin atau telenovela. Drama ini kemudian digantikan ole demam film drama Asia Selatan atau yang kita kenal dengan budaya Bollywood. Selanjutnya Bollywood digeser oleh film drama yang disebut trendi (atau drama idola) dari Jepang. 

Menjelang tahun 2000 silam, beberapa televisi menyiarkan film seri Jepang yang diangkat dari manga (komik Jepang). Demam Jepang pun melanda Indonesia. Fenomena itu kemudian sempat digantikan oleh demam film Lord of the Ring. Film ini  bukan cuma membuat penggemarnya mengkoleksi pernak-pernik film tersebut, tapi juga sampai mempelajari bahasa Elf (salah satu tokoh di film itu) dan membangun rumah seperti rumah kaum hobbit.

Femonema diatas menunjukkan beberapa trend. Pertama, perkembangan terbaru dari globalisasi budaya ini muncul dalam bentuk konvergensi selera dalam konsumsi media di dalam wilayah geo-budaya. Fenomena tersebut menggarisbawahi tesis bahwa budaya popular membantu memoles citra bangsa dan dengan demikian memperkuat daya saing ekonomi di pasar global. Implikasinya, nation brand seyogyanya dimasukkan ke dalam nation building.

Kedua, adanya negisoasi identitas dari audience-nya. Disini identitas seseorang dibentuk melalui negosiasi ketika seseorang memodifikasi atau menantang identifikasi dirinya atau orang lain. Ketiga, dua fenomena yang menarik adalah dua kutub berseberangan antara pola penyebaran budaya Jepang dan ekspansi budaya Korea di Asia Timur. 

Dalam konteks ini, Jepang-mania dianggap diprakarsai oleh konsumen setia di negara penerima (Nakano, 2002), sedangkan gelombang Korea difasilitasi oleh pemerintah Korea dalam rangka untuk meningkatkan industri budaya (Ryoo, 2008). Sebab dibandingkan dengan Jepang, Korea lebih gencar mempromosikan produk budaya Korea melalui iklan di luar negeri. 

Sebagai contoh, pemerintah menyelenggarakan tradeshow Broadcast Worldwide tahunan di seluruh dunia sejak tahun 2001. Pemerintah juga mensubsidi para produser TV Korea untuk membuat program dengan konten yang bisa menumbuhkan pasar luar negeri (Shim, 2006).

Fenomena itu juga makin memperkokoh gagasan bahwa konsumen menggunakan merek adalah untuk mengekspresikan identitas mereka. Atas dasar itu, memreposisi merek dari berfokus pada atribut fungsional ke fokus pada bagaimana mereka masuk ke gaya hidup konsumen menjadi makin penting. Dengan memposisikan merek mereka sebagai alat untuk ekspresi diri, maka terhindar dari persaingan berdarah-darah karena merek tidak bertarung head-to-head dengan pesaing langsung mereka.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar