Selasa, 22 Mei 2012

No Sign of Slowdown in Turnover of Marketers


Dalam sepuluh tahun terakhir, perpindahan eksekutif di bidang pemasaran begitu tinggi. Makin sedikit eksekutif pemasaran yang menduduki posisinya di perusahaan lebih dari tiga tahun. Bagaimana fenomena itu terjadi? 

Sepuluh tahun lalu, Fibriyani Elastria adalah seorang trainer di PT. Astra international. Kini, mulai 1 Mei 2012, lulusan teknik arsitektur ITB tahun 1996 itu mengisi posisi Direktur Marketing di AXA-Mandiri, sebuah perusahaan yang memimpin pasar bancassurance di Indonesia. Ini berarti, dalam karirnya di dunia marketing selama sepuluh atau sebelas tahun, kelahiran 10 Januari 1979 mengalami lompatan karir luar biasa. 
Sebelum bergabung dengan Axa-Mandiri, Fibri sempat bekerja sebagai Senior New Product Development Manager Coca-Cola Bottling Indonesia (kini Coca-Cola Amatil Indonesia, red). Di Coca Cola, Fibri tidak sampai setahun. Ini karena belum lama bergabung dengan Coca Cola, Fibri dihubungi head hunter dan ditawari posisi sebagai Vice President of Corporate Branding, Marketing & Communication PT. A.J Sequis Life.
“Pada awalnya saya tidak mau karena saya baru beberapa bulan di Coca-Cola. Akan tetapi, untuk menjaga hubungan baik, saya mau datang untuk bertukar pikiran. Setelah beberapa kali bertukar pikiran, saya tertarik untuk men-set up marketing dari awal dan menerima tawaran itu,” ujar wanita kelahiran Pangkal Pinang yang bergabung dengan Sequis Life sejak Juni 2008 ini.
Tahun lalu total perolehan premi Sequis Life mencapai Rp 1,65 triliun atau tumbuh 15% dibanding tahun 2010. Perolehan premi baru Rp 600 miliar, tumbuh 34,7% dari tahun sebelumnya. Kontribusi premi 90% unitlink dan 10% tradisional. Dengan tambahan produk baru, penjualan produk tradisional tumbuh 20%.
Itu pengalaman Fibri. Lain lagi dengan Febriati Nadira. Akhir tahun 2011, kabar kepindahan Febriati Nadira (@FNadira), Head of Corporate Communication PT XL Axiata (XL) ke Mandiri Sekuritas sebagai Executive VP Corporate Communication Mandiri Sekuritas sempat mengejutkan para jurnalis, terutama jurnalis telekomunikasi. Dimaklumi, peraih penghargaan PR People of the Year 2011 itu sangat dekat dengan para pencari berita.
Perempuan cantik kelahiran Situbondo ini bergabung ke XL Axiata sejak 2007 sebagai Manager Public Relations XL Axiata. Pada 2009, Ira – panggilan akrab F Nadira, menjabat Head of Corporate Communications XL Axiata sejak 2009 setelah pejabat sebelumnya, Mira Junor, mengundurkan diri karena mendampingi suaminya yang bertugas di luar negeri.
Ira memang piawai dalam berkomunikasi dengan para influencer dan buxxer di dunia maya maupun konvesional. Ketika menjadi pembicara tamu dalam workshop tentang public relations yang diselenggarakan Majalah MIX, Ira banyak bercerita tentang pengalamannya dalam berhubungan dengan para inluencer di dunia maya. “Bila kita akrab dengan mereka, kita juga dapat manfaat karena mereka bisa sekaligus sebagai sumber informasi,” kata Ira. 
Sebelum bergabung dengan XL, Ira yang menempuh pendidikannya di jurusan Akuntansi Universitas Wijaya Kusuma Surabaya itu adalah Corporate Communications PT Telkomsel dari 1996 hingga 2007. Ira mengawali karirnya di Telkomsel sebagai customer service pada 1995.
Febri dan Ira hanyalah sekian dari puluhan hingga ratusan marketer yang bisa dengan mudahnya mendapatkan posisi-posisi baru. Lihat saja Toni Darusman. Usianya baru 36 tahun. Namun, sejak lulus sebagai sarjana teknik  tahun lalu, kelahiran Padang yang kini menjabat Marketing Director untuk brand Bir Bintang, Heineken, GreenSands, dan Bintang Zero, telah singgah di beberapa perusahaan. Dia pernah di HM Sampoerna, Coca Cola Indonesia, dan Unilever Indonesia. Di Sampoerna, Toni singgah agak lama, dari 2001 sampai 2008. Namun setelah itu, tercatat dia pindah perusahaan tiga kali. 
Bukan rahasia lagi bahwa di tingkat global, chief marketing officer (CMO) adalah posisi paling sedikit aman diantara jajaran puncak. Tingkat perputaran (turn over) CMO ini relative cepat di hamper semua bidang, kecuali di perusahaan restoran siap saja. Menurut Greg Welch, seorang pimpinan perusahaan produk konsumen global – seperti yang ditulis Forbes, lama masa jabatan CMO rata-rata meningkat dari 28 bulan pada tahun 2008, menjadi 32 bulan pada tahun 2004. Namun, angka itu masih lebih rendah dibandingkan rata-rata lama posisi CIO yang mencapai 38 bulan. Sementara itu, posisi lainnya tidak ada yang berada di bawah 46 bulan.
Menurut Simon Bassett, Direktur EMR– sebuah perusahaan yang mengkhususkan pada rekrutmen eksekutif – seperti dikutip MarketingWeek (27/3/2012) -- belakangan ada fenomena yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Saat ini, begitu banyak kegiatan pemasaran bergerak semakin ke dalam ruang digital, ada keyakinan bahwa orang yang lebih muda lebih mampu menggunakan alat-alat baru yang ditawarkan. Itu sebabnya, banyak posisi manajemen marketing yang diisi tenaga muda dan menggeser tenaga yang lebih tua.

Fenomena lainnya adalah, kini semakin banyak, perusahaan mencari eksekutif pemasaran di luar industri mereka dengan pengalaman yang beragam. Makin beragam dan banyaknya informasi, makin banyaknya pilihan konsumen dan pilihan saluran distribusi secara dramatis meningkatkan kompleksitas pemasaran. Perusahaan dipaksa untuk menyeimbangkan sumber daya yang terbatas ke banyak strategi pemasaran untuk beragam segmen pelanggan potensial.
Singkatnya, kini semua mata tertuju pada sepak terjang para chief marketing officer. Di sisi lain, muncul kebutuhan baru yang sangat kuat bahwa chief marketer yang dipilih selain harus kelas dunia tapi harus membawa keterampilan baru. Di bisnis eceran misalnya, munculnya saluran pembelian baru menuntut generasi baru pemasar. Dengan kata lain, pengecer sekarang melihat ke chief marketer mereka sebagai pemimpin yang harus bisa memanfaatkan dan membaurkan berbagai kompetensi mereka, termasuk komptensi di strategi digital, implementasi CRM sosial, iklan tradisional, promosi di dalam toko, e-commerce, manajemen perkantoran dan analisis data.
Pada kuartal pertama tahu, untuk mengisi posisi chief marketer, peritel melihat ke departemen dan segmen konsumen lain.  Sebagai contoh, Target meng-hire CMO Jeffrey Jones dari toko independen  McKinney, sementara Guess menghire alumni Hub-TV, Amber Tarshis, sebagai senior VP-marketing.
Perusahaan yang bergerak di bidang teknologi dan hiburan juga memilih pemasar dengan latar belakang bervariasi. Microsoft misalnya, merekrut Thom Gruhler dari McCann Worldgroup untuk memimpin divisi pemasaran perangkat ponsel Windows. Dish Network menunjuk bekas pemimpin Procter & Gamble, James Moorhead, sebagai CMO. Mr Moorhead dikenal di kalangan periklan karena karyanya pada kampanye Old Spice Man Your Man Could Smell Like.
Sementara itu, Facebook menghire Rebecca Van Dyck, terakhir menjabat sebagai global CMO di Levi’s. Ms Van Dyck juga banyak berkarir di agency yang bertanggung jawab dalam branding merek seperti Apple dan Nike. Gambaran pergeseran eksekutif di bidang pemasaran tersebut daoat dilihat di infografis di bawah. 


Kini, kata Welch, lebih dari sepertiga CMO yang bertahan di posisinya kurang dari tiga tahun. Yang bisa menjelaskan kenapa para CMO itu susah untuk bertahan lama, salah satunya adalah karena persoalan yang disebut dengan "Dilema Marketer."  Disini, seperti yang kita tahu, seorang CMO selalu dituntut bahwa pada hasil hari ini, mengerjakan sesuatu yang sama, dan selalu berharap-harap untuk segera keluar dari persaingan sebagai pemenang.
Yang jadi persoalan adalah fokus yang pendeknya. Ini menjadi suatu keharusan karena bila terlalu berfokus pada inovasi jangka panjang, itu berarti mengabaikan pencapaian hari ini, berarti pesaing masuk. Melupakan pencapaian hari ini berarti kehilangan peluang dan pesaing telah mengambilnya. Sehingga,  apa yang dicapai hari ini akan sangat menentukan apa yang akan dicapai dalam masa mendatang.
Dalam situasi tersebut, seorang marketer dituntut untuk terus berinnovasi. Ketika beberapa inovasi besar yang gagal, maka dia kehilangan kredibilitasnya. Di sisi lain, pemasaran yang efektif bukan ilmu roket. Untuk membangun suatu merek, butuh strategi dan waktu jangka panjang. Dan apa yang dilakukan marketer, public merasakannya.
Namun, menurut Hasnul Suhaimi -- Presiden Direktur PT. XL Axiata Tbk. – perpindahan itu lebih diakibatkan oleh ketidakmampuan perusahaan dalam mengantisipasi perubahan pelanggannya. Menurut Hasnul, seorang marketer biasanya lebih loyal ke konsumennya daripada ke perusahaannya.  Jadi biasanya apabila perusahaan mereka tidak mampu mengikuti perkembangan/trend yang terjadi dipasar atau konsumennya, mereka akan pindah ke perusahaan lain yang lebih mampu mengakomodasi perubahan trend ini.  “Di XL kita selalu memastikan bahwa kita bukan hanya tidak boleh ketinggalan trend di pasar komunikasi, tapi kita harus membuat gebrakan-gebrakan atau terobosan baru yang  innovatif dan menciptakan trend baru,” katanya.
Makin banyaknya perpindahan itu, tentu bukan sesuatu yang baik bagi siapa pun yang peduli dengan pemasaran. Menurut O'Connell dan Kung (2007), biaya yang muncul akibat perindahan karyawan itu mahal. Selain perusahaan harus mengeluarkan biaya pengganti, ada biaya tersembunyi seperti kehilangan produktivitas, masalah keselamatan kerja, dan kerusakan moral. Dalam konteks pemasaran, masalah yang muncul akibat perindahan karyawan – terutama jika yang pindah adalah seorang pengambil keputusan – adalah absennya sebuah mercusuar yang bisa menuntun arah pengembangan merek jangka panjang. Ini berakibat terjadinya ketidaksesuaian message yang harus disampaikan sebuah merek dan realitas yang ada. Kedua, terjadinya ketidakkonsistenan message yang disampaikan antara satu program dengan program lainnya.
Seperti yang dikemukakan Hasnul, peran marketer adalah untuk menciptakan differentiation tidak hanya melalui produk, tapi juga melalui positioning sebuah merk. Kedua, yang tujuannya menciptakan loyalty para konsumen mereka. Dan ketiga, menciptakan business value creation dalam jangka menengah dan yang lebih panjang. Nah, ketika marketer berpindah, yang dikhawatirkan adalah terjadinya ketidakpastian.  
Di sisi lain, kondisi eksternal memungkinkan terjadinya perpindahan itu. Sebab seperti kita ketahui,  kondisi pasar selalu dan terus berubah. Ini menuntut kemampuan daya adaptasi pengelola merek terhadap perubahan itu. Menurut Ruby Chandra Lionardi -- Head of Marketing Nojorono Group – terdapat kelemahan di kalangan marketer di Indonesia. Pertama, paradigma berpikir deduksi marketing yang keliru. Contohnya, kalau sudah rutin dikerjakan sebelumnya, mengapa tidak diteruskan. Kedua, paradigma berkarya marketing yang tidak tuntas. Misalnya, perencanaan yang bagus, lemah di eksekusi, atau kompromi terlalu banyak ketika menghadapi kesulitan.
Ketiga, paradigma fokus yang terlalu banyak. Gejala umumnya adalah melakukan spending besar untuk terlalu banyak program marketing.  “Padahal, fokus marketer seharusnya cuma satu, yaitu menciptakan dan menyampaikan value yang superior, yang secara unik bisa dimiliki oleh company atau brand,” tambahnya.
Dalam kondisi seperti itu, untuk mendapatkan perspective yang baru dan segar, biasanya perusahaan membutuhkan marketer dari industri yang berbeda. Ini karena kebanyakan marketer menderita ‘marketing myopia‘ atau rabun marketing bila seorang marketer terlalu lama bergerak di satu bidang industry saja. “Karena itu, dibutuhkan marketer dari industri yang berbeda dengan pemikiran pemikiran baru untuk melihat tantangan yang sama sehingga melahirkan solusi yang berbeda,” kata Hasnul.

   

Sabtu, 19 Mei 2012

BRAND JOURNALISM - How to Build a Brand Newsroom from the Ground Up


Di masa lalu, jika sebuah perusahaan atau merek ingin menyampaikan informasinya kepada publik,  mereka meminta public relations representative mereka menghubungi pers, dan pers akan memutuskan untuk meneruskan cerita tersebut atau tidak. Sekarang, mungkin hal tersebut tidak perlu lagi. Perusahaan bisnis melewati saluran itu seperti yang dilakukan McDonald's sampai Coca-Cola. Mereka  menciptakan bentuk jurnalisme mereka sendiri yang disebut brand journalism (jurnalisme merek).

"Kerangka brand journalism adalah kebijakan editorial yang bisa membantu mendefinisikan karakter sebuah merek atau perusahaan yang khas, serta batasan di mana sebuah cerita tentang merek dibuat," Larry Light, CEO di konsultan pemasaran Arcature dan mantan kepala pemasaran global McDonald's, dalam tulisannya di Advertising Age.

Konsep brand journalism tidak hanya mengubah pandangan tradisional tentang pengelolaan merek, namun juga mengubah pandangan tradisional tentang jurnalisme. Ini karena pada dasarnya, saat ini brand journalism telah berkembang menjadi pembuatan konten dengan menggunakan keterampilan jurnalistik. Ini berarti mendefinisikan ulang tentang berita dan bagaimana hal itu harus dikomunikasikan atas nama merek.

Brand journalism diprediksi menjadi sebuah tool strategi pemasaran yang hot untuk perusahaan. Alih-alih karena memiliki kata "jurnalisme" dalam namanya, itu bukan berarti mereka melakukan pekerjaan yang sama seperti wartawan yang bekerja di sebuah news room (ruang berita). Meski demikian, pengelola merek atau penulis cerita tentang merek harus berpikir seperti seorang jurnalis.

Itu berarti manajer merek harus berperan sebagai wartawan dan harus menyadari bahwa mereka perlu meluangkan waktu untuk meneliti fakta dan melaporkan kebenarannya. Meski harus diakui bahwa dalam banyak kasus, manajer merek ini tidak melakukan hal-hal ini. Mereka terperangkap dalam rutinitas seperti kegiatan bisnis dan penjualan dan alih-alih mereka melayani publik, mereka justru lebih banyak melayani organisasi tempat mereka bekerja.

Apakah Anda pernah mengambil brosur atau flyer yang dikeluarkan oleh perusahaan atau merek? Juga membuka-buka newsletter perusahaan, baca komik secita singkat yang terdapat di sebungkus permen karet? Semua ini adalah beberapa cara yang dimanfaatkan oleh perusahaan dalam menggunakan konten untuk memasarkan produk atau layanan mereka kepada pelanggan dan calon pembeli.

Persoalannya, pada prakteknya, kebanyakan orang sering menuliskan gagasannya penuh dengan jargon, baik secara internal dan eksternal. Dalam situs web perusahaan misalnya, sering ditemukan  jargon yang hanya orang-orang di internal perusahaan atau bahkan penulisny sendiri yang tahu maknanya. Buletin internal dan eksternal juga penuh dengan jargon. Bulan lalu, saya menjadi juri PR Awarding untuk kategori media internal. Di media peserta banyak ditemukan jargon-jargon yang mungkin hanya diketahui oleh pekerja setempat. 'Siaran pers' juga terlalu sering penuh dengan jargon. Akibatnya, banyak orang bosan dan tiba-tiba website menjadi kuburan untuk siaran pers.

Media-media tadi adalah contoh platform penerbitan milik perusahaan terdepan dengan konten menarik. Jika Anda menjadi penanggungjawab media perusahaan itu, mulai sekarang Anda harus mulai memikirkan bagaimana perusahaan Anda seharusnya menjadi penerbitnya sendiri. Perusahaan Anda memiliki banyak cerita untuk diceritakan dan cerita itu perlu bisa enjadi alat untuk ,enjalin engagement atau hubungan akrab dengan pelanggan. Berbicaralah dengan pelanggan yang sudah ada. Berbicaralah kepada pelanggan baru. Gunakan konten untuk dikonversikan. Gunakan konten untuk terlibat.

Konten hebat digabungkan dengan keterlibatan pemirsa yang hebat, sama-sama menghasilkan kesuksesan yang besar. Bisnis menjadi lebih cerdas dengan mengubah gaya dan nada konten mereka. Situs web perusahaan terhindar dari anggapan seperti kuburan pers rilis dan menjadi lebih banyak konten yang bisa melead pembacanyanya, termasuk wartawan. Kita mulai melihat cerita nyata yang diceritakan.

Menurut penulis buku Content Marketing: Think Like a Publisher—How to Use Content to Market    Online and in Social Media, Rebecca Lieb, content marketing bukanlah hal baru. Sejak bertahun-tahun lalu perusahaan telah menciptakan dan mendistribusikan konten untuk menarik bisnis baru dan mempertahankan pelanggan yang ada. 

Inilah yang membedakan antara content marketing dan bentuk-bentuk pemasaran dan iklan tradisional. Disini perusahaan atau merek tidak menggunakan konten untuk menjual. Isi pesan yang biasa dimunculkan dalam bungkus permen tadi misalnya, lebih banyak mengandung informasi yang saat itu relevan dengan kebutuhan konsumen bersifat menidik sehingga bermanfaat, menarik, dan kadang-kadang menghibur.

Kenapa harus content marketing? Siapa pun yang pernah bekerja di media penerbitan atau siaran mendengar mantra iklan yang akrab. Dalam media, konten adalah umpan yang ditangkap bola mata, didengar telinga, mendapatkan perhatian, dan menciptakan keterlibatan. Itu bagian dari kontrak waktu yang kini sangat diperhitungkan konsumen. “Kami memberikan konten, Anda memberikan perhatian,” begituah harapannya.

Content marketing – kata Lieb -- berarti mengembangkan konten di seluruh bisnis Anda, termasuk produk barang dan layanan Anda. Tapi konten tidak seharusnya berada di luar aarea yang harus dihindari. Konten harus berorintesi eksternal, yakni ditujukan untuk pelanggan, calon pelanggan, pembeli, pendukung merek, blogger, media, orang yang terlibat dalam jejaring sosial, dan orang-orang yang berpotensi sebagai karyawan -- jika Anda merekrutnya (halaman 15).

Seperti diketahui, model pemasaran melalui media tradisional adalah interruptive. Ia tidak membangun dialog sementara public sekarang ingin dialog. Model interupsi ini mungkin masih berlaku, dan perusahaan atau pengelola mereka akan terus melakukannya. Tapi hari ini, media tradisional mengalami penurunan pamor. Koran, televisi, radio, dan majalah menghadapi persoalan pembaca yang jumlahnya terus berkurang. Disinilah peran content marketing makin penting. 

Content is king.

Saat ini, content marketing telah dilakukan oleh perusahaan besar dan kecil. Apalagi saat ini tersedia berbagai macam media, termasuk media sosial yang memungkinkan mereka membuat sendiri menjadi penerbit melalui situs web, blog, YouTube, Twitter, Facebook, dan sejumlah media online lainnya. Akan tetapi, menciptakan, menyebarluaskan, mengevaluasi konten, tidak akan terjadi begitu saja tanpa suatu strategi. Sebuah perencanaan content marketing yang baik mengandung sejumlah unsur yang berbeda termasuk tema, audience, kanal, tone, dan sebagainya (lihat gambar).

Meskipun content marketing mungkin lebih murah dan lebih mudah karena inovasi digital, namun menciptakan suatu content yang berkualitas, konsisten dan sesuai dengan kebutuhan konten untuk target membutuhkan pikiran, kerja, orisinalitas, strategi, eksperimentasi, dan ketekunan. Untuk itulah dibutuhkan penanggung jawab yang benar-benar memahami pekerjaan yang harus dilakukan.

Ini karena lingkup kerja content marketing officer relative besar. Di retail online Zappos misalnya, pada tahun 2008 dutarget harus menghasilkan 60-100 video per hari yang dipertotonkan melalui berbagai saluran. Akhir tahun ini, ditarget memproduksi 50.000 viseo. Untuk itu, perusahaan ini harus merekrut 40 orang pekerja full-time. Itu belum termasuk puluhan karyawan yang terlibat di lokasi demonstrasi.

Dalam banyak perusahaan, mereka bisa saja direkrut dari blogger, praktisi sosial media, copywriter, editor naskah atau public relations professional. Yang perlu dipertimbangkan adalah untuk public relations (PR) misalnya, kini tidak bisa bekerja seperti yang dilakukan sebelum-sebelumnya.
Di satu sisi, PR melaksanakan salah satu bentuk kegiatan content marketing, yakni fungsi pemasaran, sehingga PR saat ini harus melakukan banyak hal. Misalnya, hal-hal yang berkaitan dengan publisitas, manajemen reputasi, dan media. 

Karena itu, jantung PR adalah selalu menanamkan cerita di media seperti koran, majalah, televisi, dan radio. Disini PR tertantang untuk membuat cerita dalam bentuk dokumen pers rilis satu atau dua halaman singkat, mempersuasi dan meyakinkan wartawan bahwa topik yang dibuat itu bernilai dan menarik.

Yang membedakan dengan PR sebelumnya adalah bahwa siaran pers itu kini tidak lagi dikirim melalui saluran komunikasi seperti fax ke kantor berita. Siaran pers sekarang didistribusikan melalui saluran layanan jasa yang segera diambil oleh semua kantor berita besar, termasuk Google, Yahoo, dan AOL News, hingga individu konsumen (Halaman 105)

Yang juga perlu dilakukan adalah melakukan sebuah audit konten. Langkah ini tidak hanya penting untuk menilai apa yang kita miliki. Jika kita melakukannya dengan benar, audit akan menghasilkan suatu evaluasi seberapa baik konten teah bekerja dan bagaimana konten itu bekerja pada beberapa tingkat. Jadi Anda tidak hanya melihat konten dari yang kita miliki, tetapi juga apakah konten diproduksi secara profesional, apakah dieja dengan benar, apakah gayanta konsisten? Apakah isinya menarik orang? Dan sebagainya.

Lalu siapa yang sebaiknya bertanggung jawab dalam pengelolaan content marketing ini? Dalam beberapa tahun terakhir, ada teknik baru yang disebut dengan brand journalism. Ini merupakan sarana untuk menghubungkan, memperluas kesadaran dan membangun kepercayaan merek Anda dengan khalayak. Sederhananya, brand journalism membantu untuk menciptakan keunggulan kompetitif melalui daya tarik berita nyata dan bercerita perusahaan, yang dibuat oleh jurnalis profesional. Ini adalah model yang efektif tentang pengelolaan sebuah perusahaan, isu, image atau merek dipersepsikan dan dibicarakan publik.

Brand journalism merupakan pendekatan komunikasi baru yang halus dan kontemporer untuk sebuah merek, perusahaan atau organisasi di dunia pemasaran tradisional saat ini telah sangat berisik dan ramai. Brand journalism dipercaya mampu menciptakan perbedaan yang jelas tentang Anda. Dengan menggunakan prinsip-prinsip yang kredibel dan standar jurnalisme dan berita yang legitimate, brand journalism sangat efektif dalam membangun diferensiasi merek melalui situs berita interaktif.

Menceritakan sesuatu yang biasa atau membuat cerita yang dibuat-buat tidak akan membuat pelanggan dan calon pelanggan tertarik pada content marketing pemasaran Anda. Hal yang penting dalam content marketing adalah kisah nyata yang menarik sehingga membuat audiens mengerti tentang produk, jasa, atau bisnis Anda. Jadi, untuk membantu perusahaan, Anda menggali kisah-kisah nyata dari dalam perusahaan Anda, pertimbangkan untuk mempekerjakan seorang brand journalist.

"Seorang brand journalist atau corporate reporter bekerja di dalam perusahaan, menulis dan memproduksi video, blog, foto, webinars, bagan, grafik, e-book, podcast, dan informasi lainnya memberikan value bagi pasar Anda," kata Ann Handley, chief content officer at MarketingProfs, dalam posting blog harian-nya Daily Fix dengan judul " Seven Reasons Your Content Marketing Needs a Brand Journalist."

Sejatinya, sejak dulu banyak eksekutif pemasaran perusahaan dan profesional di bidang public relations yang memiliki latar belakang jurnalistik. Jadi sebenarnya ini bukan hal baru. Tapi seorang pemasar yang mempunyai pengalaman di jurnalisme lebih relevan sekarang dari pada sebelum-sebelumnyanya.

Menurut Meerman Scott,  seorang American online marketing strategist dan penulis beberapa tentang marketing, dan yang paling spektakuler adalah buku The New Rules of Marketing and PR yang terjual lebih dari 250,000 kopi dan dicetak lebih dari 25 bahasa, "Suatu informasi terbaik melalui online bukanlah tentang produk dan jasa, tetapi tentang masalah public. Salah satu cara terbaik untuk mengembangkan informasi tersebut adalah dengan menggunakan keterampilan jurnalis. ... Jadi Anda harus meng-hire  wartawan. "

Jadi kenapa Anda disarankan menyewa seorang brand journalist untuk bisnis Anda? Berikut adalah tiga alasannya. Pertama, brand journalist mengenal benar apakah suatu cerita baik atau tidak. Wartawan dilatih untuk menyaring sejumlah besar informasi dan memisahkan cerita yang ingin didengar/dibaca orang atau tidak. Seperti yang Handley katakan, "Pemahaman bawaan mereka tentang apa yang bernilai bagi penonton selalu muncul setiap kali mereka duduk di meja mereka untuk membuat konten. Selalu ada suara kecil yang mengingatkan mereka tentang yang bernilai di belakang kepala mereka. Tak seorang pun memiliki kemampuan untuk membaca ini.”

Kedua, brand journalist mengetahui bagaimana cara untuk menyederhanakan sesuatu. Wartawan tidak hanya melihat sebua cerita menarik atau tidak, tetapi juga mengetahui bagaimana membuat cerita yang mudah dicerna, subyek pemasalahan yang berat atau kompleks sekalipun. "Wartawan unggul dalam mendekonstruksi sesuatu yang kompleks dan membuatnya menjadi mudah dipahami," kata Handley. Seorang brand journalist biasanya merasa tertantang untuk menyusun topik yang nampaknya sulit, industri yang sangat diregulasi, dan produk yang tampaknya membosankan.


Ketiga, brand journalist selalu mengandalkan fakta. Ketika Anda meng-hire seorang brand journalist, brarti Anda telah memutuskan untuk menghasilkan konten yang tidak sekadar mengkopi apa yang Anda ingin sampaikan. Ini karena wartawan dilatih menulis cerita, opini, atau pernyataan dengan didukung hasil penelitian dan fakta, dan menghubungkan ide-ide ke atau dengan sumber yang tepat. "Ini tentu saja akan meningkatkan kredibilitas Anda,” kata Handley.

How Socmed Can Help They Get a New Job


Kini banyak perusahaan yang berburu tenaga professionalnya dengan mengamati atau berselancar di dunia web, blog, dan media sosial lainnya. Simak pengalaman mereka yang diburu melalui socmed itu.

Ann adalah senior vice president sebuah bank besar di New York. Dia telah 12 tahun bekerja di  perusahaan. Karena itu, dia benar-benar tak siap ketika diaharus di-PHK karena krisis yang melanda Amerika Serikat empat tahun lalu. Dia termasukkelompok pertama yang harus di-PHK sehingga sulit melakukan transisi karena krisis ekonomi masih menukik dan belum menyentuh titik dasar krisis. Situasinya semakin sulit mengingat usia Ann yang menginjak 58 tahun dan single, dan jejaring sosial yang tidak luas.
Bahkan ketika dia mendatangi EJ Chase Consulting, Inc., sebuah perusahaan konsultan HRD dan karir, Ellis Chase – sang konsultan – juga nyerah. Dia menyarankan kepada Ann untuk mencari pekerjaan yang posisinya dan gajinya lebih rendah. Berutung, Ann mempunyai daya juang yang tinggi. 
Ann mulai dengan mempelajari semua perusahaan jasa keuangan. Dia ingin tetap bekerja di bidangnya, meski dia tahu bahwa itu sulit. Dia terus mencari perusahaan dan melototi database perusahaan, seperti Hoover dan database lainnya. Dia susun daftar perusahaan yang akan diprospek. Dia memperbarui pofilnya di LinkedIn, memanfaatkan berbagai situs online guna membantunya belajar dan menghubungi perusahaan perekrut eksekutif.
Dia pun bergabung dengan asosiasi profesional, untuk membantunya membangun jaringan di luar bekas perusahaannya. Dia berpikir, mungkin organisasi profesional dapat membangunnya membangun jaringan secara cepat. Ini karena mereka sering mengadakan event dan kepanitiaan sehingga memberikan jalan untuk melakukan lompatan awal bagi seseorang seperti Ann, yang tidak memiliki jaringan pribadi luas.
Dia juga mengembangkan pendekatan melalui email, dan bekerja keras untuk mengembangkan pemasaran bagi dirinya sendiri. Dengan mengembangkan semacam promo bagi dirinya sendiri, Ann terus menerus mengedit dan meng-email, ini membantunya membangun kepercayaan dirinya bahwa sejatinya dia memiliki sesuatu untuk dijual. Melalui email-email yang dikirimkannya, paling tidak ada tiga perusahaan yang ingin bertemu dengannya.Ini sangat membantu memperbaiki efek buruk akiat PHK. Sebab kehilangan pekerjaan – pada awalnya -- memberikan efek buruk pada kepercayaan diri.
Salah satu teknik dia ciptakan adalah mengirim ulang email yang telah dikirimnya dengan  menambahkan "email permintaan maaf." Ann memang seorang organisator. Sebagai seorang MBA, dia menggunakan spreadsheet untuk mentrack semua kegiatan pencarian pekerjaan yang dilakukannya. Ann juga membuktikan bahwa jejaring LinkedIn dapat menjadi alat yang sangat bermanfaat dalam upayanya mencari pekerjaan. ia mulai dengan 20 koneksi dan dengan cepat berkembang menjadi 150.
Ann menghabiskan berjam-jam sehari untuk melakukan koneksi LinkedIn. Melalui jejaring sosial inilah Ann menemukan alamat email dan nomor telepon perusahaan yang membutuhkan tenaganya, sehingga akhirnya ada dua perusahaan konsultan yang menawarkan pekerjaan kepadanya. Salah satunya memberikan penawaran gaji yang lebih besar dibandingkan bank tempat dia bekerja sebelumnya dan di-PHK.
Beberapa tahun belakangan, untuk mendapatkan tenaga professional yang dibutuhkan, banyak perusahaan yang berselancar didunia Web, blog, dan media sosial lainnya. Media sosial itu kini menjadi salah satu kanal yang dilongok oleh para manager HR (Human Resources) perusahaan/ perkantoran ketika mencari kandidat calon staf atau karyawannya. Sebanyak 37 persen dari pemberi kerja menggunakan media sosial seperti Facebook, LinkedIn, Twitter, dan lainnya. Sementara hanya 11 persen dari pemberi kerja yang belum memanfaatkan media sosial namun akan menerapkannya di masa depan.
Facebook masih menjadi pilihan utama yang digunakan oleh para manager HR untuk mencari calon karyawan yang cocok. Kanal media sosial lainnya yang dilirik adalah LinkedIn dan hanya sedikit HR yang memanfaatkan situs microblogging Twitter.
Melalui media sosial itu, mereka menggali informasi, termasuk dengan keahlian dan bakat serta mengundang calon karyawannya. Lewat media sosial, para manager HR ingin mengetahui seberapa profesional calon karyawan yang akan dipanggil mengkuti tes kerja. Dari media sosial pula para manager HR berharap bisa memperoleh info tambahan mengenai kualifikasi calon karyawannya. Infografik dari Online Colleges akan menjelaskan lebih lengkap mengenai peran media sosial untuk menentukan kandidat calon karyawan yang tepat.


Melalui akun media sosial si calon karyawan maka akan diketahui apakah sejalan dengan budaya yang ada di perusahaan. Bahkan beberapa perusahaan juga melototi media sosial seperti Twitter, Facebook, dan sebagainya untuk mengkonfirmasi apakah kandidatnya sejak awal sudah “mencintai” perusahaannya. “Mereka ingin tahu apakah kandidat pernah menjelek-jelekkan perusahaan tempat dia melamar atau tidak. Kalau pernah menjelek-jelekkan, itu akan menjadi pertimbangan serius untuk ditolak,” kata sebuah sumber. Tahun lalu, saya mendapatkan tawaran dari sebuah perusahaan konsultan PR besar untuk menempati sebuah posisi di bisnis unit yang baru mereka buka melalui email. Saya membalas email itu dan menanyakan segala sesuatu tentang pekerjaan yang ditawarkan. Pada akhirnya saya menanyakan kenapa mereka memilih saya. Rupanya, mereka mengetahui tentang saya dari sebuah milist group profesi yang kebetulan saya sering menulis dan menanggapi isu-isu yang muncul di milist group tersebut.
Ryan Loken, manajer perekrutan Wal-Mart Stores Inc, mengatakan bahwa dia menghabiskan satu sampai dua jam seminggu menelusi blog-blog untuk mencari bakat baru atau informasi tambahan tentang kandidat yang telah diwawancarai. "Blog adalah alat yang sangat bermanfaat," katanya seperti dikutip The Wall Street Journal (10/04/2007). Sejak bergabung dengan raksasa ritel yang berpusat di Arkansas itu tiga tahun lalu, melalui blog dan situs sosial lainnya, Logen berhasil mengisi 125 posisi pekerjaan di perusahaannya. Sebagian besar calon dirujuk oleh blogger dan kontributor blog, dan beberapa oleh penulisnya sendiri.
Dari blog yang berfokus pada industri atau bidang minat, perekrut bisa meneliti kandidat tentang kegiatan non-karir mereka untuk melihat kemampuan mereka menulis dan memberi petunjuk tentang keluasan pengetahuan mereka. "Jika mereka memiliki blog atau membuat komentar tentang sesuatu, Anda dapat melihat tingkat pengetahuan mereka sebenarnya. Ini untuk memverifikasi resume mereka yang biasanya penuh dengan kata-kata bersayap,” kata Logen.
Fibriyani Elastria, Direktur Marketing di AXA-Mandiri, mengakui pentingnya blog tersebut. Saat ini, katanya, sebelum melakukan interview di tempat kerja, biasanya HRD perusahaan bersangkutan mencari data kandidat dengan googling di Internet. “Jadi kalau kita mempunyai blog, maka kita akan bisa sedikit mengarahkan pencari informasi ini ke informasi diri kita yang ingin kita tonjolkan. Selain itu, menurut saya blog tidak hanya penting untuk personal branding, tetapi juga sebagai media ekspresi kita,” kata Febriyani yang memilikiakun Facebook (http://www.facebook.com/fibriyani.otobriyanto), Twitter dan blog www.fibrielastria.tumblr.com.
Sebagai seorang marketer, personal branding yang tepat menjadi salah satu kunci sukses Fibriyani Elastria dalam meniti karir. Mengawali karirnya sebagai seorang trainer di PT. Astra international pada tahun 2001, pernah menjadi Vice President Corporate Branding, Marketing & Communication PT. Asuransi Jiwa Sequis Life dan saat ini Fibri berhasil mengisi posisi Direktur Marketing di AXA-Mandiri per 1 Mei 2012. Padahal, Fibri mengakui, jika pada awalnya dirinya tidak terlalu tertarik dengan dunia marketing.
Menurut Ricky Afrianto, praktisi pemasaran FMCG yang tinggal di Singapura, personal branding sangat penting. Karena hal ini bermanfaat bagi marketer tersebut baik di internal mau di external. Di internal jika yang bersangkutan memiliki personal branding yang kuat, otomatis, ide, marketing plan dan masukannya didengar lebih baik dibanding yang personal branding-nya kurang.
Untuk kepentingan eksternal hal ini memberikan kesempatan bagi orang lain dan perusahaan lain melihat yang bersangkutan sebagai seorang talenta marketer yang baik yang mungkin dibutuhkan perusahaannya. “Dan bagi diri sendiri hal ini akan membantu marketer untuk introspeksi diri, membuat plan marketing yang lebih baik, memacu belaiu untuk selalu aktif di aktifitas internal maupun eksternal. yang intinya nanti akan mendorong perfomance marketer tersebut diperusahaan beliau bekerja,” katanya.